Posted by : Unknown
Senin, 14 September 2015
![]() |
Cover |
Aku mulai
suratku ini dengan kisah malam dingin berselimut dongeng-dongeng yang sendu. Hampir
setiap waktuku menangisi coretan diary lamaku yang tak seindah sampulnya,
tertulis kata. “ bismillah, aku
ingin merubah clan-ku”. Selalu, tak
hentiku menghayal sebuah keluarga yang indah. Tapi kini bukan masa sang
pemimpi. Aku hanyalah seorang anak yang belum mengerti arti suratan takdir.
Tapi, aku tahu arti sakit dari merindu bisu yang tak bisa mengungkapkan segala
rasa yang seharusnya dapatku pertannyakan bahkan buruknya, aku tak tahu seperti
apa sosok yangku rindukan. Semuanya itu hanyaku biarkan berlalu, gelap dan
dalam terkubur di hati, tertanam kokoh dan tentu saja tak tercabut lagi. “Bukan aku tak menerima kenyataan”. Tapi, apakah aku harus terus
berlarut dalam diary?
Tentang
pikiranku yang selalu memaksa bertanya, siapa aku? Aku melihat jelas ibu sangat
cemas dan berhati-hati mengambil kata untuk diucapkannya, aku mendengarkan.
Tapi, bukan itu yangku harap akanku dengar siang ini, terlanjur. Aku berusaha melupakan
dialog itu di malam ini, setiap ejaan, inchi demi inchi, setiap detiknya. Apa
selanjutnya? Ucapan itu berulang kali kembali ke otakku, Keringatku bercucuran,
dan apa yang digenggamanku kini sudah terlepas dan menghempas kaca meja riasku.
Hancur!, sepertinya aku saat ini.
Aku pergi, pergi
ketempat inti dari ucapan ibu siang itu, sambutan hening dari dedaunan gugur
yang berserak tanpa aturan di gundukan tanah yang tak bernisan. Tubuhku
terhempas dan lututku menjadi penopang kuat antara tulang yang mulai rapuh
terbasuh air mata. Aku mengais tanah makam itu meminta hak yang belum ku cicipi
rasa ASI dari ibu kandungku yang pergi di tanggal kelahiranku. Jadi ibu yangku
agungkan selama 7 ini? Adik dari Ayahku! Jadi siapa ayahku, di mana kini? Ibu
atau orang tua asuhku tak tahu.
***
Kini telah 14
tahun berlalu, semua tak ada yang berubah sama. Termasuk kebiasaan bunga kertas
di sudut jendela kamarku yang bergoyang bila tertiup angin, tapi wajah bunga
kertas itu selalu menangis, bertambah usiaku bertambah pula yangku tahu, yaitu
aku sudah muak dengan suratan takdir ini. Aku bisa menangis dan berteriak histeris
kalau aku mau, dan kegaduhan selanjutnya akan segera terjadi, lebih parah lagi.
Ini saja telah memberi trauma yang sangat dalam. Sebuah tragedi masa kecilku, mungkin
aku aneh, tapi sekilas tidak ada yang aneh dariku, bermain seperti kebanyakan
anak-anak seusiaku atau poraporanda memacu nadi di jalanan, tapiku lebih
memilih untuk melakukannya sendiri, itu saja dan tak lebih.
***
- Back to Home »
- Aneh Dyah <3 , Cerita , Novel saya »
- Sedikit Dari Novelku - Tangisan Diary Lama
